MEWUJUDKAN BIROKRASI YANG MENGEDEPANKAN ETIKA PELAYANAN PUBLIK


Oleh I Wayan Sudana

Pendahuluan
Upaya untuk mewujudkan cita-cita nasional memerlukan kesungguhan untuk menegakkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu, untuk menuju ke arah demokrasi adalah merupakan sebuah proses (demokratisasi) yang panjang, bibit-bibitnya perlu disemai, dipelihara, dipupuk dan dikembangkan, sehingga dapat menjadi dewasa dan berkembang secara mandiri. Untuk itu, sangatlah diperlukan adanya kesadaran dari berbagai komponen bangsa ini untuk selalu bersikap dan berperilaku demokratis.
Berubah sikap dan perilaku menjadi seorang demokrat tidaklah semudah membalikan telapak tangan, karena ada satu hal yang sulit dipungkiri bahwa manusia itu pada dasarnya adalah konservatif, sehingga ada kecenderungan ingin mempertahankan segala sesuatu yang sudah biasa dilakukan – sekalipun itu sebuah kebiasaan yang jelek. Adapun tantangan terbesar yang harus dihadapi ke depan adalah diperlukan adanya perubahan perilaku (shifting of behaviour) yang sejalan dan konsisten dengan agenda reformasi dan tidak terjebak untuk mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu.
Transformasi ke arah demokrasi sebenarnya mengandung pengertian pergeseran dari suatu sistem nondemokratis (apapun bentuknya) ke arah sistem yang demokratis. Dalam banyak peristiwa, termasuk kasus Indonesia, transformasi ke arah demokrasi hampir selalu berkaitan dengan perubahan dari hubungan yang memiliki karakter zero-sum dalam artian negara sangat kuat dan masyarakat sipil sangat lemah, berubah menjadi hubungan yang positive-sum.
Di lihat dari sudut pandang Ilmu Politik, reformasi sama dengan demokratisasi dengan tujuan akhir membentuk Clean Government dan Good Governance(Imawan, 2000). Clean Government yang dimaksudkan adalah suatu bentuk atau struktur pemerintahan yang menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat, serta menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Untuk itu sangat diperlukan adanya:
1.      Pemerintah yang dibentuk atas kehendak orang banyak;
2.      Struktur organisasi pemerintah yang tidak kompleks, dalam rangka untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan tanggung jawab aparat;
3.      Mekanisme politik yang menjamin hubungan konsultatif antara negara dan warga negara;
4.      Mekanisme saling mengontrol antar aktor-aktor di dalam infra maupun supra struktur politik.
Good Governance yang dimaksudkan adalah adanya satu mekanisme kerja, dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan sosial dan pemerintah mampu secara maksimal melaksanakan tiga fungsi dasarnya (service, development, empowerment). Untuk itu diperlukan adanya:
1.      Perlindungan yang nyata terhadap “ruang & wacana” publik;
2.      Mengakui dan menghormati kemajemukan politik, dalam rangka mendorong partisipasi dan mewujudkan desentralisasi;
3.      Pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan advokator kepentingan publik.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Permasalahan
Birokrasi memang diharapkan berperan besar dalam pelaksanaan seluruh rencana negara yang telah diputuskan dalam kebijakan publik. Namun dalam praktek pemerintahan negara – peran birokrasi seringkali diragukan untuk dapat menghidupkan dan mendinamisasikan proses demokratisasi, karena sifat birokrasi manapun pasti tidak dinamis (Suseno, 1992). Bahkan Sutoro Eko (2003) menyatakan bahwa raksasa birokrasi Indonesia yang tidak bermutu, justru menjadi beban yang sangat berat bagi negara dan masyarakat. Birokrasi Indonesia adalah institusi yang lebih banyak menghabiskan ketimbang menghasilkan. Sebagai sarang korupsi dan pencurian, birokrasi adalah penyumbang terbesar krisis finansial negara. Benar-benar sebuah ironi yang konyol kalau negara menderita krisis tetapi para pengelolanya bisa hidup kaya dan mewah.
Adanya perubahan paradigma yang berpusat pada rakyat dan sejalan dengan perubahan paradigma dari UU No. 5 tahun 1974 yang menggunakan “The structural efficiency model”, menuju UU No. 22 Tahun 1999 dan selanjutnya diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan  “The local democracy model”. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di daerah. Semangat otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya memandirikan Pemerintah Daerah dalam menjalankan dan menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di daerah. Untuk itu Pemerintah Daerah haruslah selalu tanggap dalam merespon serta menyikapi kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Dengan pelaksanaan otonomi daerah diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan lebih murah.
Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, sejalan dengan tingkat kehidupan yang semakin baik, telah meningkatkan kesadarannya akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Masyarakat yang semakin kritis dan berani untuk mengajukan keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melakukan kontrol atas kinerja pemerintah. Masyarakat  semakin berani menuntut birokrasi publik untuk mengubah posisi dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik. Kebiasaan suka mengatur dan memerintah mesti diubah menjadi suka melayani, dari yang lebih suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong, semuanya menuju ke arah  fleksibelitas, kolaboratis dan dialogis, dan menghilangkan  cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1988:119).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efesien, serderhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, adaptif dan sekaligus  dapat membangun “kualitas manusia” dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi, 1986:213)
Dengan demikian sangatlah menarik untuk dikaji lebih lanjut permasalahan yang berkaitan dengan fokus orasi ilmiah ini, yakni: “Bagaimanakah kemampuan birokrasi yang mengedepankan etika pelayanan publik dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan demokrasi ?”
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Pelayanan Birokrasi yang Profesional
Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya (Rasyid, 1998:139).
Dalam paradigma “dikotomi politik dan administrasi” seperti dikemukakan oleh Wilson, dalam Widodo (2001:245), menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut.
Dengan demikian, kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan untuk melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun karena administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik memiliki kewenangan secara umum disebut “discretionary power”, yakni keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan “secara baik dan tidak secara buruk”.
Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk.
Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188), mengatakan bahwa: “Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat”. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Sementara pemahaman pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga maksud dari public service tersebut demi mensejahterakan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut,  Widodo (2001:269) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Etika dan Konsep Etika Pelayanan Publik
Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, refrensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas  dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji.
Leys berpendapat bahwa: “Seseorang administrator dianggap etis apabila ia  menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada”. Selanjutnya, Anderson menambahkan suatu poin baru bahwa: “standar-standar yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin  merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani”. Berikutnya, Golembiewski mengingatkan dan menambah elemen baru yakni: “standar etika tersebut mungkin berubah dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan standar-standar perilaku tersebut dan bertindak sesuai dengan standar tersebut” (Keban, 1994:51).
Beberapa konsep mengenai etika pelayanan publik dapat disimak dari  pendapat-pendapat  berikut ini.
1.      Etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik” (Kumorotomo, 1996:7).
2.      Lebih lanjut dikatakan oleh Putra Fadillah (2001:27), etika   pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik”.
3.      Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas”.
4.      Darwin (1999) mengartikan etika birokrasi  (administrasi negara) sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia organisasi.  Selanjutnya dikatakan bahwa etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas  dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain: efesiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness.
5.      Menurut Widodo (2001:241), Etika administrasi negara adalah merupakan wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Acuan Tugas
Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, yakni:
1.      Efisiensi.
Nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros). Menurut Darwin (1999) mereka akan menggunakan dana publik (public resources) secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat memberikan kontribusi kepada organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan sebuah prinsip “janganlah bertanya apa yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat saudara berikan kepada organisasi”.
1.      Membedakan milik pribadi dengan milik kantor.
Nilai ini dimaksudkan supaya birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
1.      3. Impersonal
Nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan daripada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi selayaknya mendapat penghargaan.
1.      4. Merytal system
Nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai, hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, dan bukan “spoil system”.
1.      5. Responsible
Nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurut Friedrich dalam Darwin (1988), responsibilitas merupakan konsep berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya. Untuk bisa menilai perilaku, sikap, dan sepak terjang administrator harus memiliki standar penilaian sendiri yang bersifat administratif atau teknis, dan bukan politis. Disamping itu, pertanggungjawaban administratif menuntut administrator harus bertindak berdasarkan moral. Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap adil, tidak membedakan client, peka terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan birokrasi yang responsible akan mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional.
1.      6. Accountable
Nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan  Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1993) nilai accountable merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut tanggungjawab yang bersifat objektif, sebab birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka dinilai objektif oleh orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat mempertanggungjawaban segala macam perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya kepada pihak mana  kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal. Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala mereka mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).
1.      7. Responsiveness
Nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah, dan aspirasi masyarakat. Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha untuk memenuhinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan substansi. Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan baik apabila mereka dinilai memiliki responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutan, masalah, keluhan serta aspirasi masyarakat.
Selanjutnya menurut Widodo (2001:270-271), pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Ciri-cirinya yaitu:
1.      Efektif yakni lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
2.      Sederhana mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat pengguna layanan.
3.      Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai:
1.      prosedur tata cara pelayanan;
2.      persyaratan pelayanan, baik teknis maupun  persyaratan administratif;
3.      unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan,
4.      rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, dan
5.      jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
6.      Keterbukaan mengandung arti prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
7.      Efisiensi mengandung arti:
1.      persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan;
2.      dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
3.      Ketepatan waktu mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
4.      Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani, dan
5.      Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Prinsip-prinsip Etika Pelayanan Publik
Etika administrasi negara dari American society for Public Administration (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara), menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut:
1.      Pelayanan terhadap publik harus diutamakan;
2.      Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan publik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya;
3.      Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara terbaik untuk memberi pelayanan publik;
4.      Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator publik. Penyalahgunaan, pemborosan, dan berbagai aspek yang merugikan tidak dapat ditolerir;
5.      Sistem merit  dan kesempatan kerja yang sama harus didukung, diimplementasikan dan dipromosikan;
6.      Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan;
7.      Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus dipromosikan;
8.      Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif keputusan;
9.      Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran (Wachs, 1985).
Selanjutnya asas-asas  etika itu dituangkan dalam sebuah kode etika yang memuat 5 asas etika dan 7 asas mutu yang wajib di indahkan dan dijalankan oleh para anggota perhimpunan yang menjadi administrator negara, yaitu sebagai berikut :
1.      Menunjukkan ukuran baku tertinggi tentang keutuhan watak   pribadi, kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan umum, agar supaya membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat terhadap pranata-pranata negara;
2.      Menghindari sesuatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam pertentangan dengan penuaian dari kewajiban-kewajiban resmi;
3.      Mendukung, melaksanakan, dan memajukan penempatan tenaga kerja menurut penilaian kecakapan serta tata-acara tindakan yang tidak membeda-bedakan guna menjamin kesempatan yang sama pada penerimaan, pemilihan, dan kenaikan pangkat  terhadap orang-orang yang memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat;
4.      Menghapuskan semua pembedaan tak sah, kecurangan, dan salah pengurusan keuangan negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan karena usaha yang bertanggungjawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus, atau salah penggunaan yang demikian;
5.      Melayani masyarakat secara hormat, penuh perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri;
6.      Berjuang kearah keunggulan berkeahlian perseorangan dan menganjurkan pengembangan berkeahlian dan termasuk mereka yang berusaha memasuki bidang administrasi negara;
7.      Menghampiri tugas organisasi dan kewajiban-kewajiban kerja dengan suatu sikap yang positif dan secara membangun mendukung tata hubungan yang terbuka, daya cipta, pengabdian, dan welas asih;
8.      Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang dapat diperoleh dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi;
9.      Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang dimiliki menurut hukum untuk memajukan kepentingan umum atau masyarakat;
10. Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan menangani urusan masyarakat dengan kecakapan berkeahlian, kelayakan, sikap tak memihak, efisiensi, dan daya guna;
11. Menghormati, mendukung, menelaah, dan bilamana perlu berusaha untuk menyempurnakan konstitusi-konstitusi negara serikat dan negara bagian serta hukum-hukum lainnya yang mengatur hubungan-hubungan diantara badan-badan pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga negara (Gie,1998:31-41).
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Pelayanan dan Konsep Pelayanan
Setiap kehidupan bermasyarakat, manusia pasti memerlukan pelayanan dari orang lain, baik pelayanan fisik maupun pelayanan administratif. Kaitannya dengan pelayanan publik maka dalam hal ini birokrasi sebagai abdi negara, abdi masyarakat adalah sebagai aparat pelaksana pelayanan (public service) merupakan salah satu fungsi yang diselenggarakan dalam rangka penyelenggaraan administrasi negara.
Sianipar (1998:5) mengatakan bahwa pelayanan didefinisikan sebagai cara melayani, membantu, menyiapkan, dan mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau sekolompok orang, artinya objek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi, dan kelompok-kelompok organisasi.
Sedangkan Moenir (1992), mengatakan pelayanan adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang dilakukan oleh orang lain secara langsung. Menurutnya secara garis besar, pelayanan yang diperlukan oleh manusia pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu “pelayanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia” dan “pelayanan administrative yang diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi”. Lebih lanjut dikatakan pada hakekatnya, pelayanan adalah serangkaian kegiatan, karena itulah ia merupakan proses. Sebagai proses, “pelayanan” berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, yang meliputi seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat.
Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu : “1) pelayanan dengan lisan; 2) pelayanan melalui tulisan; dan 3) pelayanan dengan perbuatan” (Moenir, 1992:190). Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat selamanya berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan tersebut pelayanan publik pada Kantor Pemerintah.
Perihal bentuk pelayanan tersebut, lebih lanjut Moenir mengatakan sebagai berikut :
1. Pelayanan dengan lisan. Pelayanan yang dilakukan oleh petugas-petugas dibidang hubungan kemasyarakatan, bidang layanan informasi, bidang penerangan, dan bidang-bidang lainnya yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang memerlukan. Agar pelayanan dengan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka pelaku pelayanan harus:
1.      memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam bidang tugasnya;
2.      mampu memberikan penjelasan apa yang diperlukan dengan lancar, singkat tetapi cukup jelas sehingga memuaskan mereka yang ingin memperoleh kejelasan mengenai sesuatu;
3.      bertingkah laku sopan dan ramah-tamah;
4.      meski dalam keadaan “sepi” tidak “ngobrol” dan bercanda dengan teman, karena menimbulkan kesan tidak disiplin dan melalaikan tugas. Tamu menjadi segan  untuk bertanya dengan memutus keasyikan “ngobrol”;
5.      tidak melayani orang-orang yang ingin sekedar “ngobrol” dengan cara sopan.
6.      Pelayanan melalui tulisan. Merupakan bentuk yang paling menonjol dalam pelaksanaan tugas, tidak hanya dari segi jumlah tetapi juga dari segi peranannya. Agar pelayanan dalam bentuk tulisan dapat memnuhi kepuasan pihak yang dilayani, satu faktor kecepatan baik dalam pengolahan masalah maupun dalam proses penyelesaiannya (pengetikan, penandatanganan, dan pengiriman kepada yang bersangkutan). Pelayanan tulisan terdiri dari dua golongan, yaitu: pertama, pelayanan berupa petunjuk, informasi dan sejenisnya yang ditujukan pada orang yang berkepentingan, agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan instansi/lembaga; dan kedua, pelayanan berupa reaksi tulisan atas permohonan, laporan, keluhan, pemberian/penyerahan, pemberitahuan dan lain sebagainya.
7.      Pelayanan berbentuk perbuatan. Dalam kenyataan sehari-hari jenis pelayanan ini memang tidak terhindar dari pelayanan lisan. Jadi merupakan gabungan antara pelayanan lisan dan perbuatan. Hal ini banyak dilakukan dalam hubungannya dengan pelayanan (kecuali pelayanan tulisan). Titik berat dari pelayanan perbuatan ini adalah terletak pada perbuatan itu sendiri yang ditunggu oleh yang berkepentingan. Jadi tujuan utama orang yang berkepentingan adalah mendapatkan pelayanan dalam bentuk perbuatan atau hasil perbuatan, bukan sekedar penjelasan dan kesanggupan secara lisan (Moenir, 1992:191-195).
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih banyak merupakan kombinasi dari ketiga bentuk pelayanan tersebut di atas. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan seperti ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi patut menjadi teladan. Mereka tidak melakukan sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat, misalnya; korupsi, kolusi, dan nepotisme (Kartasasmita,1997:28).
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Merubah Citra
Kata “birokrasi,” seringkali dipersepsikan masyarakat sebagai gambaran buram mengenai prosedur kerja yang berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak efisien dan kurang efektif, sumber penyalahgunaan wewenang dan semacamnya, kendati memang secara empiris sulit dibantah adanya keadaan birokrasi yang memanifestasikan hal seperti itu. Persepsi demikian muncul karena birokrasi sebagai instrumen negara dan pemerintahan hanya dipandang dan dipahami dari dimensi realitas ketimbang dimensi netralitas.
Secara kelembagaan, pemberian pelayanan kepada publik belum sepenuhnya mengembangkan prinsip kompetensi, yakni kemampuan aparat birokrasi untuk memenuhi dan mengetahui proses pelayanan yang dibutuhkan pengguna jasa. Pembedaan atas dasar afiliasi sosial kemasyarakatan juga sering dijumpai dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Dwiyanto, 2002:196-197).
Namun demikian, pemberian layanan tetap saja ditemukan pembedaan dari aparat birokrasi ditingkat bawah, dimana kecenderungan terjadi, terlihat semakin tinggi status sosial ekonomi dan semakin dekat (kekerabatan) seorang pengguna jasa, maka aparat birokrasi semakin ramah dalam melayaninya (Dwiyanto, 2000).
Etika pelayanan dalam kinerja pelayanan publik diperlukan sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat pengguna jasa. Kepentingan pengguna jasa harus ditempatkan sebagai tujuan utama, melalui prinsip pelayanan tersebut diharapkan tidak terjadi diskriminasi dalam pemberian pelayanan, dan bersikap ramah dalam memberi pelayanan, sehingga pengguna jasa merasa memperoleh pelayanan yang sebaik-baiknya. Jika kondisi pelayanan yang demikian diciptakan maka etika pelayanan publik dapat berjalan sesuai dengan misi aparat birokrasi dan tuntutan masyarakat pengguna jasa (Dwiyanto, 2000:201-202).
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Kepuasan Masyarakat
Masyarakat  dalam hubungannya dengan pelayanan aparatur pemerintah selalu menuntut pemberian pelayanan yang cepat, cermat maupun ramah. Untuk mencapai pada pelayanan tersebut, pemahaman perilaku birokrasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu sebagai suatu tindakan individu bagi keberhasilan organisasi, karena individu yang dapat membawa tatanan birokrasi, kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, dan pengalaman untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini lebih menekankan pada pencarian cara untuk meningkatkan hasil yang efektif, sehingga pelayanan yang diberikan dapat memuaskan  masyarakat dan harus berawal dari  aparat birokrasi yang suka bekerja keras.
Menurut Tjokrowinoto (2001:11), relevansi pemuasan masyarakat atas pelayanan yang disediakan, perilaku birokrasi perlu diperhitungkan kompetensinya dengan mengacu pada dua hal yaitu: pertama,  birokrasi harus memberikan pelayanan publik  dengan adil, menuntut kemampuan untuk memahami keadaan masyarakat, mengartikulasikan aspirasi dari kebutuhan masyarakat, lalu merumuskan dalam suatu kebijakan kemudian diimplementasikan; kedua, birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting, dari  pendekatan top down yang menguasai dinamika interaksi antara birokrasi dengan masyarakat dapat mengalami perubahan menjadi hubungan horisontal.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Mal-administrasi
Praktek mal-administrasi acapkali timbul karena bertemunya faktor “niat atau kemauan dan kesempatan”, apabila ada niat kesempatan tidak ada mal-administrasi tidak akan terjadi, begitu sebaliknya kesempatan ada namun tidak ada niat maka tindakan mal-administrasi tidak terjadi.
Ada dua faktor sebagai sumber penyebab timbulnya mal-administrasi yaitu: pertama, faktor internal yakni  faktor pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, misalnya niat, kemauan, dan dorongan yang tumbuh dalam pribadi orang; kedua, faktor eksternal yaitu faktor yang berada diluar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, misalnya lemahnya peraturan, lemahnya pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi.
Menurut Widodo (2001:259), mal-administrasi merupakan suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi yang menjauhkannya dari pencapaian tujuan administrasi. Sedangkan Nigro dan Nigro dalam (Widodo, 2001:259-262), mengemukakan terdapat delapan bentuk mal-praktek (mal-administrasi) yaitu :
1.      Ketidak-jujuran (dishonesty), yaitu suatu tindakan administrasi yang tidak jujur. Misalnya; mengambil uang dan barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima uang suap dari langganan (client), menarik pungutan liar, dan sebagainya. Dikatakan ketidak-jujuran karena tindakan ini berbahaya dan menimbulkan ketidak-percayaan (dis-trust), dan merugikan kepentingan organisasi atau masyarakat.
2.      Perilaku yang buruk (unethical behaviour), pegawai (administrator publik) mungkin saja melakukan tindakan dalam batas-batas yang diperkenankan hukum, tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis, sehingga secara hukum tidak dapat dituntut. Misalnya, kecendrungan pegawai untuk memenangkan perusahaan koleganya dalam tender proyek; seorang pembesar minta kepada kepala personalia supaya familinya diluluskan dalam seleksi pegawai. Tindakan ini jelas tidak etis karena mengabaikan objektivitas penilaian.
3.      Mengabaikan hukum (disregard of the law), pegawai (administrator publik) dapat mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan  kepentingannya. Misalnya pegawai menggunakan mobil dinas untuk keluarga, padahal ia tahu fasilitas kantor yang secara hukum hanya diperuntukkan bagi pegawai dan hanya untuk kepentingan dinas.
4.      Favoritisme dalam menafsirkan hukum. Pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan tertentu. Misalnya “gubernur” sebagai pembina politik di wilayahnya  harus bersikap netral, namun dalam pemilu sebagai kader partai A merasa terpanggil memenangkan partai tersebut.
5.      Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai. Pegawai diperlakukan secara tidak adil. Misalnya bos menghambat pegawai yang berprestasi karena merasa disaingi.
6.      Inefisiensi bruto (gross inefficiency). Betapapun bagus maksudnya, jika suatu instansi tidak mampu melakukan tugas secara memadai, para administrator disitu dinilai gagal, misalnya pemborosan dana secara berlebihan.
7.      Menutup-nutupi kesalahan. Pimpinan atau pegawai  menutupi kesalahannya sendiri atau bawahannya, atau menolak diperiksa atau dikontrol oleh legislatif, atau melarang pers meliput kesalahan instansinya.
8.      Gagal menunjukkan inisiatif. Sebagian pegawai gagal membuat keputusan yang positif atau menggunakan diskresi (keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan hukum kepadanya.
Upaya untuk mencegah atau mengatasi tindakan mal-administrasi pada tubuh birokrasi publik harus berupaya untuk tidak mempertemukan  antara niat dan kesempatan tadi.  Maka skala prioritas untuk mencegah dan mengatasinya adalah dengan cara: pertama, perlu kontrol internal; kedua, menjunjung tinggi dan menegakkan etika birokrasi pada jajaran birokrasi publik; ketiga, kontrol eksternal dalam wujud adanya pengawasan baik pengawasan politik, fungsional maupun pengawasan masyarakat.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Faktor Pendukung Etika Pelayanan
Proses pelayanan publik agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan, tentunya harus didukung oleh unsur-unsur yang terkait, yang merupakan faktor pendukung dari proses pelayanan tersebut. Faktor-faktor pendukung yang tidak baik, akan dapat menghambat pelayanan itu sendiri.
Adapun  faktor-faktor pendukung  proses pelayanan yang semestinya selalu mendapatkan perhatian seksama, diantaranya adalah :
1.      faktor kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam pelayanan;
2.      faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan;
3.      faktor organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan;
4.      faktor pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum;
5.      faktor ketrampilan petugas; dan
6.      faktor sarana alam pelaksanaan tugas pelayanan (Moenir, 1992:88).
Dalam proses pelayanan dari suatu organisasi, faktor-faktor di atas merupakan sistem yang terkait satu sama lain dan saling melengkapi/mempengaruhi pada keterpaduan. Oleh karenanya kerusakan salah satu faktor dalam pelayanan akan mempengaruhi etika pelayanan dari organisasi itu sendiri.
Faktor kesadaran mencakup kesadaran para pejabat dan petugas yang berkecimpung dalam tugas pelayanan menunjukkan suatu keadaan pada jiwa seseorang yaitu merupakan titik temu atau equilibrium dari berbagai pertimbangan sehingga diperoleh suatu keyakinan, ketenangan, ketetapan hati dan keseimbangan dalam jiwa yang bersangkutan. Moenir (1992:89) merumuskan bahwa kesadaran adalah “Suatu proses berpikir melalui metode renungan, pertimbangan dan perbandingan, sehingga menghasilkan keyakinan, ketenangan, ketetapan hati dan keseimbangan dalam jiwanya sebagai pangkal tolak untuk perbuatan dan tindakan yang akan dilakukan”. Adanya kesadaran dapat membawa seseorang kepada keikhlasan dan kesungguhan dalam menjalankan atau melaksanakan suatu kehendak. Dalam suatu organisasi kehendak tersebut tertuang dalam bentuk tugas, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengikat semua orang dalam organisasi. Sehingga proses pelayanan dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan disiplin tercermin dalam tingkah laku dan perbuatannya.
Aturan merupakan perangkat yang amat penting dalam segala tindakan dan perbuatan orang apalagi dalam organisasi. Aturan harus dibuat untuk dipatuhi agar sasaran dapat tercapai sesuai dengan maksudnya. Aturan organisasi akan mengarahkan pegawai untuk disiplin dalam perwujudan kerja.
Faktor struktur dan mekanisme kerja dalam mencapai tujuan organisasi yaitu pelayanan yang memadai bukan hanya semata-mata sebagai perwujudan susunan organisasi, melainkan menekankan pada pengaturan dan mekanisme kerja untuk menghasilkan pelayanan yang memadai dan perlu didukung oleh sistem, prosedur, dan metode.
Sistem merupakan hal yang cukup menentukan dalam proses pelayana, karena sistem merupakan  suatu rangkaian komponen yang membentuk kesatuan yang utuh, saling tergantung dan mempengaruhi dalam suatu keterpaduan untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Dengan demikian sistem dalam organisasi harus dijaga agar mekanismenya berjalan sebagaimana mestinya. Agar organisasi sebagai suatu sistem dapat berfungsi dengan baik perlu ada job descriptionsecara terinci agar setiap aparat dapat melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik.
Dalam penyelenggaran pelayanan  prosedur dan metode amat penting dalam menentukan kelancaran dalam mencapai tujuan organisasi. Prosedur adalah rangkaian tindakan/langkah yang harus diikuti dalam usaha mencapai tujuan atau suatu tata cara kerja yang sah. Sedangkan metode adalah memiliki batasan yang lebih sempit dari prosedur yaitu hanya berlaku pada satu unit saja. Jadi metode adalah cara yang dilakukan seseorang untuk menyelesaikan suatu tahap dari rangkaian pekerjaan yang paling mudah dan efisien diantara beberapa cara yang ada. Namun cara termudah dan efisien dimaksud sesuai dengan prosedur.
Faktor lain adalah pendapatan pegawai. Pendapatan adalah seluruh  penerimaan seseorang sebagai imbalan atas tenaga dan atau pikiran yang telah dicurahkan untuk orang lain atau organisasi yang diperoleh dari organisasi tempat kerja sesuai dengan kedudukan dan peranannya dalam organisasi. Pendapatan haruslah dapat memenuhi kebutuhan hidup baik untuk sendiri maupun keluarga. Pendapatan merupakan faktor pendukung dalam penyelenggaraan pelayanan, karena tujuan orang bekerja adalah untuk mendapatkan imbalan yang  sepadan untuk memenuhi kehidupannya. Apabila pendapatan tidak mencukupi maka dalam pelaksanaan pelayanan mereka diliputi rasa resah dan tidak tenang, sehingga pelayanan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Faktor kemampuan dan ketrampilan merupakan hal penting dalam mendukung proses pelayanan. Karena dengan kemampuan dan ketrampilan yang memadai, pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.
Sarana pelayanan merupakan faktor penting pula dalam pelayanan karena berfungsi sebagai alat utama membantu pelaksanaan pekerjaan. Sarana pelayanan dimaksud ada dua macam yaitu sarana kerja dan fasilitas. Sarana kerja meliputi peralatan, perlengkapan, dan alat bantu. Sedangkan fasilitas meliputi gedung dengan segala perlengkapannya.
Adanya dukungan dari factor-faktor di atas dalam pelayanan publik tentunya diharapkan dapat memenuhi harapan yang didambakan oleh setiap orang yang membutuhkan  pelayanan. Dambaan itu diantaranya adalah :
1.      kemudahan dalam pengurusan kepentingan;
2.      mendapatkan pelayanan yang wajar;
3.      mendapatkan perlakuan yang sama tanpa pilih kasih;
4.      mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang (Moenir, 1992:47).
Pemberian pelayanan yang baik dan memuaskan kepada manajemen maupun masyarakat, tentunya akan muncul suatu dampak yang positif di masyarakat yaitu :
1.      masyarakat menghargai korps pegawai;
2.      masyarakat patuh terhadap aturan-aturan pelayanan;
3.      masyarakat bangga terhadap korps pegawai;
4.      ada kegairahan usaha dalam masyarakat;
5.      ada peningkatan dan pengembangan dalam masyarakat menuju segera tercapainya masyarakat adil dan makmur (Moenir, 1992:47).
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Pemimpin Etis
Organisasi merupakan sistem kegiatan terkoordinasi dari kelompok orang yang bekerjasama mengarah pada tujuan bersama di bawah kewenangan dan kepemimpinan. Siagian (1988:24), memberi pengertian kepemimpinan sebagai kemampuan dan ketrampilan seeorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama bawahannya, untuk berpikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan sumbangsih nyata dalam pencapaian tujuan organisasi. Selanjutnya, Minzberg (Davis,1993:152), menyatakan: ”Kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias mencapai tujuan”.
Peran moral kepemimpinan dalam upaya membantu pelaksanaan pelayanan publik yang baik sangatlah besar, sebagaimana diungkapkan oleh Putra Fadillah (2001:34), bahwa moral kepemimpinan pejabat publik untuk berbuat baik dalam pelayanan publik dan mematuhi norma hukum yang berlaku akan mewujudkan jati diri birokrasi dan pelayanan publik yang sejati.
Selanjutnya Kartono (1999:65) menegaskan sikap moral pemimpin adalah sikap yang bertanggung jawab moral, berdasarkan otonomi, yang menuntut agar dirinya selalu bersikap kritis dan realistis. Sikap kritis tersebut perlu ditujukan kepada macam-macam kekuatan, kekuasaan dan otoritas yang terdapat di masyarakat. Dengan adanya sikap kritis dan kontrol sosial beserta sanksi-sanksi soaialnya, diharapkan dibangun  pola hidup sejahtera yang lebih bebas dari penderitaan dan ketidak-adilan, untuk bisa hidup lebih bahagia.
Masyarakat modern berkepentingan dengan kepemimpinan yang baik, dan mampu menuntun organisasi sesuai dengan asas-asas manajemen modern, sekaligus juga bersedia memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada bawahan dan masyarakat luas. Luasnya kegiatan manusia modern, dirasakan perlu ada pemimpin-pemimpin yang efektif dan baik budi pekertinya. Dengan demikian kepemimpinan etis diperlukan dan penting dalam sebuah organisasi, karena memiliki alasan sebagai berikut:
1.      Berguna untuk memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi atau membangun motivasi-motivasi kerja, dan mengemudikan organisasi sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
2.      Menjalin jaringan-jaringan komunikasi yang baik, memberikan pengawasan yang efesien, dan membawa para pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju sesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan.
3.      Menunjukkan kepemimpinan yang etis sebagai salah satu hal, penting untuk menunjukkan moral yang baik dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, berdasarkan nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan yang berlaku, sehingga dijadikan panutan dan dapat di ikuti oleh bawahan dalam melaksanakan tugasnya.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Kondisi Pelayanan: Hasil Kajian
Dwiyanto (2002), dalam penelitiannya tentang pelayanan publik, salah satunya menukik pada aspek etika pelayanan publik dengan menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdapat dua pihak yang berhadapan dan saling berbeda kepentingan. Pihak aparat sebagai pemberi layanan yang berhadapan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan, antara keduanya seringkali terdapat perbedaan kepentingan-kepentingan yang mencolok. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan dengan mengambil sampel beberapa daerah di Indonesia yaitu : Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Menunjukkan adanya kecenderungan diskriminasi yang mencolok dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam kontek etika pelayanan, masyarakat pengguna jasa mengharapkan adanya etika birokrasi sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat pengguna jasa. Kepentingan pengguna jasa harus ditempatkan sebagai tujuan utama, melalui prinsip pelayanan tersebut diharapkan tidak terjadi diskriminasi . Jika kondisi demikian dapat diciptakan, etika pelayanan publik sesuai dengan misi aparat birokrasi dan tuntutan masyarakat sebagai pengguna jasa.
Hasil kajian tentang etika pelayanan publik di Instansi teknis di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar dalam hal pengurusan KTP yang dilakukan oleh Sudana (2003) disimpulkan etika pelayanan belum optimal diterapkan dalam pelayanan publik. Hal ini dapat dilihat: pertama, lemahnya penerapan kode etik aparat dalam pelayanan, yang terindikasi dari adanya tindakan-tindakan yang menyimpang dalam memberikan pelayanan. Beberapa oknum  aparat kadang-kadang menawarkan diri sebagai biro jasa atau calo yang mengarah kepada tindakan terjadinya korupsi; kedua, rendahnya kesadaran aparat birokrasi akan tanggung jawab dan disiplin dalam proses pelayanan, dan masih adanya tindakan diskriminasi pelayanan yang mengarah pada unsur nepotisme; ketiga, etika birokrasi dalam pelayanan publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian pelayanan ini terlihat. Seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan. Dengan demikian, masyarakat pengguna jasa dirugikan dalam pelayanan secara komprehensif.
Lemahnya penerapan etika dalam pelayanan publik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1.      Pengawasan.
Mekanisme pengawasan yang berfungsi sebagai antisipasi terhadap adanya tindakan-tindakan penyimpangan dalam penegakan etika pelayanan di Dinas tersebut dapat dinilai belum berjalan dengan baik dalam artian pengawasannya lemah. Hal ini terjadi karena:  pertama, berkaitan pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan pelaksanaannya monoton, hanya dilakukan pada saat apel, bukan pada saat jam-jam pelayanan.  Dan sebaliknya saran dan kritik yang dilakukan bawahan terhadap atasan hanya ditampung saja tidak ditindak lanjuti oleh atasan; kedua, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap organisasi tersebut tidak mendapat respon dari pihak-pihak yang berkompeten dalam organisasi ini, sehingga tidak ada umpan balik dalam mengevaluasi program selanjutnya, dan pengawasan yang melibatkan masyarakat secara langsung sebagai kekuatan bagi mekanisme chek and balances dalam proses penyelenggaraan negara menjadi sia-sia. Seperti pepatah lama ‘bagaikan anjing menggongong kafilah tetap berlalu’.
1.      Konsitensi Aparat Birokrasi.
Aparat belum memiliki konsistensi dalam penerapan etika pelayanan publik. Dalam artian, masih lemahnya kesadaran aparat birokrasi dalam penegakkan etika pelayanan publik.  Hal ini terjadi karena: pertama, ketetapan aparat dalam bertindak yang sesuai aturan dengan pelayanan secara faktual terdapat kesenjangan; kedua, masih rendahnya rasa memiliki terhadap organisasi di tempat mereka bekerja, sehingga berimplikasi kepada pekerjaan yang dilakukan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh berdasarkan hati nurani.
3. Komunikasi
Komunikasi belum berjalan efektif karena komunikasi yang telah dilakukan oleh pihak aparat dalam mensosialisasikan aturan seperti melalui penyebaran brosur, media cetak, dan melalui penyuluhan-penyuluhan langsung ke masyarakat belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini disebabkan oleh minimnya tenaga penyuluh yang dimiliki oleh instansi yang bersangkutan, luasnya jangkuan wilayah penyuluhan,disamping adanya sikap apatis masyarakat dalam merespon informasi yang sebenarnya diperlukan.
Kesimpulan
1.      1. Otonomi membutuhkan pelayanan yang cepat, tepat, dekat, murah.
2.      2. Etika seringkali tidak dipahami
3.      3. Etika pelayanan tidak dijalankan
4.      4. Masih banyak terjadi mal-administrasi
5.      5. Memerlukan dukungan semua pihak, sarana prasarana maupun panutan kepemimpinan.
6.      6. Kepuasaan masyarakat masih kurang terhadap pelayanan yang diberikan birokrasi.
Saran-saran
1.      1. sosilalisasikan etika pelayanan publik
2.      2. perbaiki sistem rekruitmen
3.      3. berikan sanksi yang tegas dan penghargaan yang sesuai
4.      4. dan lainnya.
Akhirnya, kalau saja birokrasi tidak berhasil menjalankan misi utamanya sebagai pelayan masyarakat, maka bukan hanya citra birokrasi yang tercemar, melainkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai inipun akan menjadi taruhannya.
R E F E R E N S I
1.      Buku-buku.
Anderson, James A., dkk. 1998. Strategies of Qualitative Inquiri. New Delhi, Sage Publication, Inc.
Berg, Bruce L. 1989. Qualitative Research Methods For The Social Science, Indiana University of Pennsylvania, Boston.
Bertens, K. 1977. Etika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Cassel, Chaterine dan Symon, Gillian (ed). 1994. Qualitative Methodesin Organization Research. A Pratical Guide, Sage Publications, Singapore.
Danin, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kwalitatif Ancangan Metodelogi: Presentasi, Publikasi Hasil Penelitian Untuk Mahasiswa dan Peneliti Pemula Bidang Ilmu-Ilmu Sosial. Pendidikan, dan Humaniora. Pustaka Setia, Bandung.
Dwiyanto Agus, Partini, Ratminto, Wicaksono Bambang, Tamtiari Wini, Kusumasari Bevaola, dan Nuh Muhamad. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), UGM., Yogyakarta.
Effendi, Sofian & Singarimbun Masri. 1989. Metode Penelitian Survai. Lembaga penelitian, pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta.
Gafar, Afan. 2000. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Faisal, Sanapiah. 2001. Format-Format Penelitian Sosial. Raja Grafindi Persada, Jakarta.
Gie, The Liang. 1986.  Etika pemerintahan. Yayasan Obor, Jakarta.
——–.993. Keadilan Sebagai Landasan Bagi Etika Administrasi Pemerintahan Dalam Negara Indonesia. Liberti, Yogyakarta.
——–.998. Kode Etik Bagi Petugas Pemerintahan, Bahan Pemikiran Untuk Membina Pegawai Negeri yang Bersih dan Berwibawa. Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB), Yogyakarta.
Gibson, James L., J.M. Ibancevich, J.N. Donnelly. 1996. Organisasi: Perilaku Struktur dan Proses. Erlangga , Jakarta.
——–.997. Organisasi: Perilaku Struktur dan Proses. Erlangga, Jakarta.
——–.000. Organisasi: Perilaku Struktur dan Proses. Erlangga, Jakarta.
Indrawijaya, I. Adam. 2000. Perilaku Organisasi. Sinar Baru Algendsindo, Bandung.
Invancevich, John M. and Matteson, Michael T.  1999.  Organizational Behavior and Management. Irwin Mc Graw-Hil. Boston, USA.
Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan: Pekembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. LP3ES, Jakarta.
Keban, Yeremias T. 1994. Pengantar Aministrasi Publik. Program MAP UGM, Yogyakarta.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta.
Miles, Mathew B. dan Michael Hubernman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Muchsan, 2000. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan tata Usaha Negara di Indonesia. Liberty, yogyakarta.
Mulyana, Dedy.  2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Moenir, H.A.S. 2000. Manajemen Pelyanan Umum di Indonesia. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Moleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nazir, Mohamad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia, Jakarta.
Ndraha, Taliziduhu, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru). Rineka Cipta, Jakarta
Nawawi, Hadari. 2003. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Putra, Fadillah dan Arif, Saiful. 2001. Kapatilasime Birokrasi, Kritik Reinvinting Government Osborne-Gaebler. LKIS, Yogyakarta.
Poedjawijanta. 1986. Etika Filsafat Tingkah Laku. Bina aksara, Jakarta.
Rasyid, Ryaas, 1998. Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia. PT. Pustaka LP3ES, Jakarta.
——–.001. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari segi Etika dan Kepemimpinan. PT. Yasrif Watampone, Jakarta.
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia; Konsep, Teori dan Konteks Organisasi Publik. Graha Ilmu, Bandung.
Siagian, Sondang P. 1988. Organsiasi, Kepemimpinan & Perilaku Administrasi. CV. Haji Masagung, Jakarta.
——–.1995. Patalogi Birokrasi analisis, Identifikasi dan Terafinya. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Syafie, Inu Kencana, dkk. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Rineka Cipta, Jakarta.
Stoner, A.F. James. 1996. Manajemen. Erlangga, Jakarta
Thoha, Miftah.1995. Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi. Pusdiklat Pegawai Depdikbud, Sawangan-Bogor.
——–.1998. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Media Widya Mandala, Yogyakarta.
——–.2002. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan aplikasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tjokrowinoto, Moelyarto. 2001. Birokrasi dalam Polemik. Pustaka Pelajar, Jakarta.
——–.2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Pustaka Pelajar, Jakarta.
Utomo, Warsito. 2003. Dinamika Administrasi Publik Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer dalam Administrasi Publik. Kerjasama dengan MAP, UGM, Yogyakarta.
Widjaja, A.W. 1994. Etika Administrasi Negara. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
——–. 1997. Etika Pemerintahan. PT. Bumi Aksara, Jakarta
Widodo, Joko. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia, Surabaya.
Yin, Robert K. 2003. Studi Kasus (Desain dan Metode). Rajawali Pers, Jakarta.
Zauhar, Soesilo.  1996. Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi, dan Strategi. Bumi Aksara, Jakarta.
_____.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
1.      2. Laporan Hasil Penelitian dan Panduan
Lay, Cornelis, Dkk. 2002. Desentralisasi dan Demokrasi: Kajian Tentang Kecamatan Sebagai Arena Pengembangan Demokrasi, Pelayanan Publik, Ekonomi, dan Intermediary. Kerjasama Fisipol UGM, Yogyakarta- The Ford Foundation.
_____.2002. Kebijakan Tertib Administrasi Kependudukan Kota Denpasar. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar.
_____.2003. Evaluasi Akhir Tahun 2003. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar.
_____.2003. Ketentuan dan Prosedur Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar.
Utomo, Warsito. 2002 15 Februari. Kembalikan Fungsi Birokrasi. Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. hlm. 1


Komentar

Postingan Populer