MEWUJUDKAN BIROKRASI YANG MENGEDEPANKAN ETIKA PELAYANAN PUBLIK
Oleh I
Wayan Sudana
Pendahuluan
Upaya untuk mewujudkan cita-cita
nasional memerlukan kesungguhan untuk menegakkan demokrasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sementara itu, untuk menuju ke arah demokrasi adalah
merupakan sebuah proses (demokratisasi) yang panjang, bibit-bibitnya perlu
disemai, dipelihara, dipupuk dan dikembangkan, sehingga dapat menjadi dewasa
dan berkembang secara mandiri. Untuk itu, sangatlah diperlukan adanya kesadaran
dari berbagai komponen bangsa ini untuk selalu bersikap dan berperilaku
demokratis.
Berubah sikap dan perilaku menjadi seorang demokrat tidaklah
semudah membalikan telapak tangan, karena ada satu hal yang sulit dipungkiri
bahwa manusia itu pada dasarnya adalah konservatif, sehingga ada
kecenderungan ingin mempertahankan segala sesuatu yang sudah biasa dilakukan –
sekalipun itu sebuah kebiasaan yang jelek. Adapun tantangan terbesar yang harus
dihadapi ke depan adalah diperlukan adanya perubahan perilaku (shifting of
behaviour) yang sejalan dan konsisten dengan agenda reformasi dan tidak
terjebak untuk mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu.
Transformasi ke arah demokrasi sebenarnya mengandung
pengertian pergeseran dari suatu sistem nondemokratis (apapun bentuknya) ke
arah sistem yang demokratis. Dalam banyak peristiwa, termasuk kasus Indonesia,
transformasi ke arah demokrasi hampir selalu berkaitan dengan perubahan dari
hubungan yang memiliki karakter zero-sum dalam artian negara
sangat kuat dan masyarakat sipil sangat lemah, berubah menjadi hubungan
yang positive-sum.
Di lihat dari sudut pandang Ilmu Politik, reformasi sama
dengan demokratisasi dengan tujuan akhir membentuk Clean Government dan Good
Governance(Imawan, 2000). Clean Government yang
dimaksudkan adalah suatu bentuk atau struktur pemerintahan yang menjamin tidak
terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat, serta menghindari
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Untuk itu sangat
diperlukan adanya:
1.
Pemerintah
yang dibentuk atas kehendak orang banyak;
2.
Struktur
organisasi pemerintah yang tidak kompleks, dalam rangka untuk meningkatkan
akuntabilitas pemerintah dan tanggung jawab aparat;
3.
Mekanisme
politik yang menjamin hubungan konsultatif antara negara dan warga negara;
4.
Mekanisme
saling mengontrol antar aktor-aktor di dalam infra maupun supra struktur
politik.
Good Governance yang dimaksudkan adalah adanya satu mekanisme kerja,
dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan sosial dan
pemerintah mampu secara maksimal melaksanakan tiga fungsi dasarnya (service,
development, empowerment). Untuk itu diperlukan adanya:
1.
Perlindungan
yang nyata terhadap “ruang & wacana” publik;
2.
Mengakui
dan menghormati kemajemukan politik, dalam rangka mendorong partisipasi dan
mewujudkan desentralisasi;
3.
Pemerintah
mengambil posisi sebagai fasilitator dan advokator kepentingan publik.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Permasalahan
Birokrasi memang diharapkan berperan
besar dalam pelaksanaan seluruh rencana negara yang telah diputuskan dalam
kebijakan publik. Namun dalam praktek pemerintahan negara – peran birokrasi
seringkali diragukan untuk dapat menghidupkan dan mendinamisasikan proses
demokratisasi, karena sifat birokrasi manapun pasti tidak dinamis (Suseno,
1992). Bahkan Sutoro Eko (2003) menyatakan bahwa raksasa birokrasi Indonesia
yang tidak bermutu, justru menjadi beban yang sangat berat bagi negara dan
masyarakat. Birokrasi Indonesia adalah institusi yang lebih banyak menghabiskan
ketimbang menghasilkan. Sebagai sarang korupsi dan pencurian, birokrasi adalah
penyumbang terbesar krisis finansial negara. Benar-benar sebuah ironi yang
konyol kalau negara menderita krisis tetapi para pengelolanya bisa hidup kaya
dan mewah.
Adanya perubahan paradigma yang berpusat pada rakyat dan
sejalan dengan perubahan paradigma dari UU No. 5 tahun 1974 yang menggunakan “The
structural efficiency model”, menuju UU No. 22 Tahun 1999 dan selanjutnya
diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan
“The local democracy model”. Pemerintah Daerah Kabupaten dan
Kota diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan pelayanan kepada
masyarakat di daerah. Semangat otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya
memandirikan Pemerintah Daerah dalam menjalankan dan menyelenggarakan tugas
pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di daerah. Untuk itu
Pemerintah Daerah haruslah selalu tanggap dalam merespon serta menyikapi
kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Dengan pelaksanaan otonomi daerah diharapkan
pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan lebih
murah.
Perkembangan kehidupan masyarakat
yang semakin dinamis, sejalan dengan tingkat kehidupan yang semakin baik, telah
meningkatkan kesadarannya akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Masyarakat yang semakin kritis dan
berani untuk mengajukan keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melakukan
kontrol atas kinerja pemerintah. Masyarakat semakin berani menuntut
birokrasi publik untuk mengubah posisi dan perannya (revitalisasi) dalam
memberikan layanan publik. Kebiasaan suka mengatur dan memerintah mesti diubah
menjadi suka melayani, dari yang lebih suka menggunakan pendekatan kekuasaan,
berubah menjadi suka menolong, semuanya menuju ke arah fleksibelitas,
kolaboratis dan dialogis, dan menghilangkan cara-cara yang sloganis
menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1988:119).
Dalam kondisi masyarakat seperti
digambarkan di atas, aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik
yang lebih profesional, efektif, efesien, serderhana, transparan, terbuka,
tepat waktu, responsif, adaptif dan sekaligus dapat membangun “kualitas
manusia” dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara
aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi, 1986:213)
Dengan demikian sangatlah menarik
untuk dikaji lebih lanjut permasalahan yang berkaitan dengan fokus orasi ilmiah
ini, yakni: “Bagaimanakah kemampuan birokrasi yang mengedepankan etika pelayanan
publik dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan demokrasi ?”
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Pelayanan Birokrasi yang Profesional
Negara dalam upaya mencapai
tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut dengan pemerintah
dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan
kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi
melayani masyarakat serta menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya (Rasyid, 1998:139).
Dalam paradigma “dikotomi politik dan administrasi” seperti
dikemukakan oleh Wilson, dalam Widodo (2001:245), menegaskan bahwa pemerintah
memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan
pembuatan kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang
menjadi keinginan negara, dan fungsi administrasi yang berkenaan dengan
pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut.
Dengan demikian, kekuasaan membuat kebijakan publik berada
pada kekuasaan politik (political master), dan untuk melaksanakan
kebijakan politik tadi merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun karena
administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik memiliki kewenangan
secara umum disebut “discretionary power”, yakni keleluasaan
untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka
timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin bahwa
kewenangan itu digunakan “secara baik dan tidak secara buruk”.
Atas dasar inilah etika diperlukan
dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk
tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan
kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah
perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan
baik atau buruk.
Sedangkan etika dalam konteks
birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188), mengatakan bahwa: “Etika birokrasi
digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan
tugas pelayanan pada masyarakat”. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan
publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus
diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan
kepentingan masyarakat luas.
Sementara pemahaman pelayanan publik yang disediakan oleh
birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat
dan abdi negara. Sehingga maksud dari public service tersebut
demi mensejahterakan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Widodo
(2001:269) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu
sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Etika dan Konsep Etika Pelayanan Publik
Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi,
yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, refrensi bagi administrasi
negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar
tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak
tercela. Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian mengenai
sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan
terpuji.
Leys berpendapat bahwa: “Seseorang
administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan
standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan
keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada”.
Selanjutnya, Anderson menambahkan suatu poin baru bahwa: “standar-standar yang
digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan
nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani”. Berikutnya, Golembiewski
mengingatkan dan menambah elemen baru yakni: “standar etika tersebut mungkin
berubah dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator harus mampu memahami
perkembangan standar-standar perilaku tersebut dan bertindak sesuai dengan
standar tersebut” (Keban, 1994:51).
Beberapa konsep mengenai etika pelayanan publik dapat
disimak dari pendapat-pendapat berikut ini.
1.
Etika
pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan
kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau
norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik” (Kumorotomo,
1996:7).
2.
Lebih
lanjut dikatakan oleh Putra Fadillah (2001:27), etika pelayanan
publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan
kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang
mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik”.
3.
Sedangkan
etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188): ”Etika birokrasi
digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan
tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan
publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus
diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan
kepentingan masyarakat luas”.
4.
Darwin
(1999) mengartikan etika birokrasi (administrasi negara) sebagai
seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia
organisasi. Selanjutnya dikatakan bahwa etika (termasuk etika birokrasi)
mempunyai dua fungsi yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan,
referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi dinilai
baik, terpuji, dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai
standar penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik
dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika
birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi
birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain:
efesiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal
system, responsible, accountable, dan responsiveness.
5.
Menurut
Widodo (2001:241), Etika administrasi negara adalah merupakan wujud kontrol
terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok,
fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap,
tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok,
fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Acuan Tugas
Dalam etika pelayanan publik ada
seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntun
bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, yakni:
1.
Efisiensi.
Nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan
perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros).
Menurut Darwin (1999) mereka akan menggunakan dana publik (public resources)
secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi
publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat
memberikan kontribusi kepada organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan sebuah
prinsip “janganlah bertanya apa yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah
apa yang dapat saudara berikan kepada organisasi”.
1.
Membedakan
milik pribadi dengan milik kantor.
Nilai ini dimaksudkan supaya
birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi.
Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
1.
3. Impersonal
Nilai impersonal maksudnya adalah
dalam melaksanakan hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau
kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya dalam kerjasama kolektif
diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya hubungan
impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan daripada unsur
rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada
dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi
selayaknya mendapat penghargaan.
1.
4. Merytal
system
Nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai,
hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam penerimaan pegawai
atau promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan
pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable),
dan pengalaman (experience), sehingga dengan sistem ini akan menjadikan
yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab, dan bukan “spoil system”.
1.
5. Responsible
Nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi
publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurut Friedrich dalam
Darwin (1988), responsibilitas merupakan konsep berkenaan dengan standar
profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi
publik) dalam menjalankan tugasnya. Untuk bisa menilai perilaku, sikap, dan
sepak terjang administrator harus memiliki standar penilaian sendiri yang
bersifat administratif atau teknis, dan bukan politis. Disamping itu,
pertanggungjawaban administratif menuntut administrator harus bertindak
berdasarkan moral. Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap adil, tidak
membedakan client, peka terhadap ketimpangan yang terjadi dalam
masyarakat, atau memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik. Sehingga
dengan demikian diharapkan birokrasi yang responsible akan
mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional.
1.
6. Accountable
Nilai accountable menurut Harty (1977)
merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah
digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan
Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1993) nilai accountable merupakan
konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu
tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut
tanggungjawab yang bersifat objektif, sebab birokrasi dikatakan accountable bilamana
mereka dinilai objektif oleh orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat
mempertanggungjawaban segala macam perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya
kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal.
Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala mereka mewujudkan
apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat
memberikan kepuasan publik).
1.
7. Responsiveness
Nilai ini berkaitan dengan daya
tanggap dari birokrasi publik dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan,
masalah, dan aspirasi masyarakat. Mereka cepat memahami apa yang menjadi
tuntutan publik, dan berusaha untuk memenuhinya. Mereka tidak suka
menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan prosedur
tetapi mengabaikan substansi. Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan
baik apabila mereka dinilai memiliki responsif (daya tanggap) yang tinggi
terhadap tuntutan, masalah, keluhan serta aspirasi masyarakat.
Selanjutnya menurut Widodo
(2001:270-271), pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang
dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan
(aparatur pemerintah). Ciri-cirinya yaitu:
1.
Efektif yakni lebih mengutamakan pada
pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
2.
Sederhana mengandung arti prosedur/tata
cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat pengguna
layanan.
3.
Kejelasan
dan kepastian (transparan),
mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai:
1.
prosedur
tata cara pelayanan;
2.
persyaratan
pelayanan, baik teknis maupun persyaratan administratif;
3.
unit
kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan
pelayanan,
4.
rincian
biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, dan
5.
jadwal
waktu penyelesaian pelayanan.
6.
Keterbukaan mengandung arti
prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi
pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka agar
mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
7.
Efisiensi mengandung arti:
1. persyaratan pelayanan hanya dibatasi
pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan
tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang
berkaitan;
2. dicegah adanya pengulangan pemenuhan
persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
3. Ketepatan waktu mengandung arti pelaksanaan
pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah
ditentukan.
4. Responsif lebih mengarah pada daya
tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi
masyarakat yang dilayani, dan
5. Adaptif adalah cepat menyesuaikan
terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang
dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Prinsip-prinsip Etika Pelayanan Publik
Etika administrasi negara dari American society for
Public Administration (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara),
menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut:
1.
Pelayanan
terhadap publik harus diutamakan;
2.
Rakyat
adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan publik secara
mutlak bertanggung jawab kepadanya;
3.
Hukum
yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum atau peraturan
yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara terbaik untuk memberi
pelayanan publik;
4.
Manajemen
yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator publik.
Penyalahgunaan, pemborosan, dan berbagai aspek yang merugikan tidak dapat
ditolerir;
5.
Sistem
merit dan kesempatan kerja yang sama harus didukung, diimplementasikan
dan dipromosikan;
6.
Mengorbankan
kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan;
7.
Keadilan,
kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy merupakan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus dipromosikan;
8.
Kesadaran
moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif keputusan;
9.
Administrator
publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha
mengejar atau mencari kebenaran (Wachs, 1985).
Selanjutnya asas-asas etika
itu dituangkan dalam sebuah kode etika yang memuat 5 asas etika dan 7 asas mutu
yang wajib di indahkan dan dijalankan oleh para anggota perhimpunan yang
menjadi administrator negara, yaitu sebagai berikut :
1.
Menunjukkan
ukuran baku tertinggi tentang keutuhan watak pribadi, kebenaran,
kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan umum, agar supaya membangkitkan
keyakinan dan kepercayaan rakyat terhadap pranata-pranata negara;
2.
Menghindari
sesuatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam pertentangan dengan
penuaian dari kewajiban-kewajiban resmi;
3.
Mendukung,
melaksanakan, dan memajukan penempatan tenaga kerja menurut penilaian kecakapan
serta tata-acara tindakan yang tidak membeda-bedakan guna menjamin kesempatan
yang sama pada penerimaan, pemilihan, dan kenaikan pangkat terhadap
orang-orang yang memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat;
4.
Menghapuskan
semua pembedaan tak sah, kecurangan, dan salah pengurusan keuangan negara serta
mendukung rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan karena usaha yang
bertanggungjawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus, atau
salah penggunaan yang demikian;
5.
Melayani
masyarakat secara hormat, penuh perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui
bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan terhadap diri
sendiri;
6.
Berjuang
kearah keunggulan berkeahlian perseorangan dan menganjurkan pengembangan
berkeahlian dan termasuk mereka yang berusaha memasuki bidang administrasi
negara;
7.
Menghampiri
tugas organisasi dan kewajiban-kewajiban kerja dengan suatu sikap yang positif
dan secara membangun mendukung tata hubungan yang terbuka, daya cipta,
pengabdian, dan welas asih;
8.
Menghormati
dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang dapat diperoleh
dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi;
9.
Menjalankan
wewenang kebijaksanaan apapun yang dimiliki menurut hukum untuk memajukan
kepentingan umum atau masyarakat;
10. Menerima sebagai suatu kewajiban
pribadi tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan baru terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul dan menangani urusan masyarakat dengan
kecakapan berkeahlian, kelayakan, sikap tak memihak, efisiensi, dan daya guna;
11. Menghormati, mendukung,
menelaah, dan bilamana perlu berusaha untuk menyempurnakan
konstitusi-konstitusi negara serikat dan negara bagian serta hukum-hukum
lainnya yang mengatur hubungan-hubungan diantara badan-badan pemerintah,
pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga negara (Gie,1998:31-41).
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Pelayanan dan Konsep Pelayanan
Setiap kehidupan bermasyarakat, manusia pasti memerlukan
pelayanan dari orang lain, baik pelayanan fisik maupun pelayanan administratif.
Kaitannya dengan pelayanan publik maka dalam hal ini birokrasi sebagai abdi
negara, abdi masyarakat adalah sebagai aparat pelaksana pelayanan (public
service) merupakan salah satu fungsi yang diselenggarakan dalam rangka
penyelenggaraan administrasi negara.
Sianipar (1998:5) mengatakan bahwa
pelayanan didefinisikan sebagai cara melayani, membantu, menyiapkan, dan
mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau sekolompok orang,
artinya objek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi, dan kelompok-kelompok
organisasi.
Sedangkan Moenir (1992), mengatakan pelayanan adalah sebuah
proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang dilakukan oleh orang lain
secara langsung. Menurutnya secara garis besar, pelayanan yang diperlukan oleh
manusia pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu “pelayanan fisik yang sifatnya pribadi
sebagai manusia” dan “pelayanan administrative yang diberikan
oleh orang lain selaku anggota organisasi”. Lebih lanjut dikatakan pada
hakekatnya, pelayanan adalah serangkaian kegiatan, karena itulah ia merupakan
proses. Sebagai proses, “pelayanan” berlangsung secara rutin dan
berkesinambungan, yang meliputi seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat.
Mengenai bentuk pelayanan itu tidak
akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu : “1) pelayanan dengan lisan; 2)
pelayanan melalui tulisan; dan 3) pelayanan dengan perbuatan” (Moenir,
1992:190). Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah
dapat selamanya berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi
pelayanan tersebut pelayanan publik pada Kantor Pemerintah.
Perihal bentuk pelayanan tersebut,
lebih lanjut Moenir mengatakan sebagai berikut :
1. Pelayanan dengan lisan. Pelayanan
yang dilakukan oleh petugas-petugas dibidang hubungan kemasyarakatan, bidang
layanan informasi, bidang penerangan, dan bidang-bidang lainnya yang tugasnya
memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang memerlukan. Agar
pelayanan dengan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka pelaku
pelayanan harus:
1.
memahami
benar masalah-masalah yang termasuk dalam bidang tugasnya;
2.
mampu
memberikan penjelasan apa yang diperlukan dengan lancar, singkat tetapi cukup
jelas sehingga memuaskan mereka yang ingin memperoleh kejelasan mengenai
sesuatu;
3.
bertingkah
laku sopan dan ramah-tamah;
4.
meski
dalam keadaan “sepi” tidak “ngobrol” dan bercanda dengan teman, karena
menimbulkan kesan tidak disiplin dan melalaikan tugas. Tamu menjadi segan
untuk bertanya dengan memutus keasyikan “ngobrol”;
5.
tidak
melayani orang-orang yang ingin sekedar “ngobrol” dengan cara sopan.
6.
Pelayanan
melalui tulisan. Merupakan bentuk yang paling menonjol dalam pelaksanaan tugas,
tidak hanya dari segi jumlah tetapi juga dari segi peranannya. Agar pelayanan
dalam bentuk tulisan dapat memnuhi kepuasan pihak yang dilayani, satu faktor
kecepatan baik dalam pengolahan masalah maupun dalam proses penyelesaiannya
(pengetikan, penandatanganan, dan pengiriman kepada yang bersangkutan).
Pelayanan tulisan terdiri dari dua golongan, yaitu: pertama, pelayanan
berupa petunjuk, informasi dan sejenisnya yang ditujukan pada orang yang
berkepentingan, agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan instansi/lembaga;
dan kedua, pelayanan berupa reaksi tulisan atas permohonan,
laporan, keluhan, pemberian/penyerahan, pemberitahuan dan lain sebagainya.
7.
Pelayanan
berbentuk perbuatan. Dalam kenyataan sehari-hari jenis pelayanan ini memang
tidak terhindar dari pelayanan lisan. Jadi merupakan gabungan antara pelayanan
lisan dan perbuatan. Hal ini banyak dilakukan dalam hubungannya dengan
pelayanan (kecuali pelayanan tulisan). Titik berat dari pelayanan perbuatan ini
adalah terletak pada perbuatan itu sendiri yang ditunggu oleh yang
berkepentingan. Jadi tujuan utama orang yang berkepentingan adalah mendapatkan
pelayanan dalam bentuk perbuatan atau hasil perbuatan, bukan sekedar penjelasan
dan kesanggupan secara lisan (Moenir, 1992:191-195).
Karena pentingnya pelayanan bagi
kehidupan manusia, ditambah kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan
yang diperlukan lebih banyak merupakan kombinasi dari ketiga bentuk pelayanan
tersebut di atas. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor pemerintahan.
Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika pelayanan publik
adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang mendasarkan
diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang harus ditegakkan karena kebenaran
yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari
keputusan yang diambil. Dengan pelayanan seperti ini diharapkan agar birokrasi
selalu melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar sebuah kebijakan
menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini melembaga dalam diri pejabat publik
dan masyarakat, maka birokrasi patut menjadi teladan. Mereka tidak melakukan
sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat, misalnya; korupsi, kolusi, dan
nepotisme (Kartasasmita,1997:28).
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Merubah Citra
Kata “birokrasi,” seringkali
dipersepsikan masyarakat sebagai gambaran buram mengenai prosedur kerja yang
berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak
efisien dan kurang efektif, sumber penyalahgunaan wewenang dan semacamnya,
kendati memang secara empiris sulit dibantah adanya keadaan birokrasi yang
memanifestasikan hal seperti itu. Persepsi demikian muncul karena birokrasi
sebagai instrumen negara dan pemerintahan hanya dipandang dan dipahami dari
dimensi realitas ketimbang dimensi netralitas.
Secara kelembagaan, pemberian
pelayanan kepada publik belum sepenuhnya mengembangkan prinsip kompetensi, yakni
kemampuan aparat birokrasi untuk memenuhi dan mengetahui proses pelayanan yang
dibutuhkan pengguna jasa. Pembedaan atas dasar afiliasi sosial kemasyarakatan
juga sering dijumpai dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Dwiyanto,
2002:196-197).
Namun demikian, pemberian layanan
tetap saja ditemukan pembedaan dari aparat birokrasi ditingkat bawah, dimana
kecenderungan terjadi, terlihat semakin tinggi status sosial ekonomi dan
semakin dekat (kekerabatan) seorang pengguna jasa, maka aparat birokrasi semakin
ramah dalam melayaninya (Dwiyanto, 2000).
Etika pelayanan dalam kinerja
pelayanan publik diperlukan sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat
birokrasi terhadap kepentingan masyarakat pengguna jasa. Kepentingan pengguna
jasa harus ditempatkan sebagai tujuan utama, melalui prinsip pelayanan tersebut
diharapkan tidak terjadi diskriminasi dalam pemberian pelayanan, dan bersikap
ramah dalam memberi pelayanan, sehingga pengguna jasa merasa memperoleh
pelayanan yang sebaik-baiknya. Jika kondisi pelayanan yang demikian diciptakan
maka etika pelayanan publik dapat berjalan sesuai dengan misi aparat birokrasi
dan tuntutan masyarakat pengguna jasa (Dwiyanto, 2000:201-202).
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Kepuasan Masyarakat
Masyarakat dalam hubungannya
dengan pelayanan aparatur pemerintah selalu menuntut pemberian pelayanan yang
cepat, cermat maupun ramah. Untuk mencapai pada pelayanan tersebut, pemahaman
perilaku birokrasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu sebagai suatu tindakan
individu bagi keberhasilan organisasi, karena individu yang dapat membawa
tatanan birokrasi, kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, dan pengalaman
untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini lebih menekankan pada pencarian
cara untuk meningkatkan hasil yang efektif, sehingga pelayanan yang diberikan
dapat memuaskan masyarakat dan harus berawal dari aparat birokrasi
yang suka bekerja keras.
Menurut Tjokrowinoto (2001:11), relevansi pemuasan
masyarakat atas pelayanan yang disediakan, perilaku birokrasi perlu
diperhitungkan kompetensinya dengan mengacu pada dua hal yaitu: pertama,
birokrasi harus memberikan pelayanan publik dengan adil, menuntut
kemampuan untuk memahami keadaan masyarakat, mengartikulasikan aspirasi dari
kebutuhan masyarakat, lalu merumuskan dalam suatu kebijakan kemudian
diimplementasikan; kedua, birokrasi harus mempunyai kompetensi
untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social
setting, dari pendekatan top down yang menguasai
dinamika interaksi antara birokrasi dengan masyarakat dapat mengalami perubahan
menjadi hubungan horisontal.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Mal-administrasi
Praktek mal-administrasi acapkali
timbul karena bertemunya faktor “niat atau kemauan dan kesempatan”, apabila ada
niat kesempatan tidak ada mal-administrasi tidak akan terjadi, begitu
sebaliknya kesempatan ada namun tidak ada niat maka tindakan mal-administrasi
tidak terjadi.
Ada dua faktor sebagai sumber penyebab timbulnya
mal-administrasi yaitu: pertama, faktor internal yakni faktor
pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, misalnya niat, kemauan,
dan dorongan yang tumbuh dalam pribadi orang; kedua, faktor
eksternal yaitu faktor yang berada diluar diri pribadi orang yang melakukan
tindakan mal-administrasi, misalnya lemahnya peraturan, lemahnya pengawasan,
dan lingkungan kerja yang memungkinkan kesempatan untuk melakukan tindakan
mal-administrasi.
Menurut Widodo (2001:259),
mal-administrasi merupakan suatu praktek yang menyimpang dari etika
administrasi yang menjauhkannya dari pencapaian tujuan administrasi. Sedangkan
Nigro dan Nigro dalam (Widodo, 2001:259-262), mengemukakan terdapat delapan
bentuk mal-praktek (mal-administrasi) yaitu :
1.
Ketidak-jujuran
(dishonesty), yaitu suatu tindakan administrasi yang tidak jujur.
Misalnya; mengambil uang dan barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima
uang suap dari langganan (client), menarik pungutan liar, dan
sebagainya. Dikatakan ketidak-jujuran karena tindakan ini berbahaya dan
menimbulkan ketidak-percayaan (dis-trust), dan merugikan kepentingan
organisasi atau masyarakat.
2.
Perilaku
yang buruk (unethical behaviour), pegawai (administrator publik) mungkin
saja melakukan tindakan dalam batas-batas yang diperkenankan hukum, tetapi
tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis, sehingga secara hukum
tidak dapat dituntut. Misalnya, kecendrungan pegawai untuk memenangkan
perusahaan koleganya dalam tender proyek; seorang pembesar minta kepada kepala
personalia supaya familinya diluluskan dalam seleksi pegawai. Tindakan ini
jelas tidak etis karena mengabaikan objektivitas penilaian.
3.
Mengabaikan
hukum (disregard of the law), pegawai (administrator publik) dapat
mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan
kepentingannya. Misalnya pegawai menggunakan mobil dinas untuk keluarga,
padahal ia tahu fasilitas kantor yang secara hukum hanya diperuntukkan bagi
pegawai dan hanya untuk kepentingan dinas.
4.
Favoritisme
dalam menafsirkan hukum. Pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap mengikuti
hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan
kepentingan tertentu. Misalnya “gubernur” sebagai pembina politik di
wilayahnya harus bersikap netral, namun dalam pemilu sebagai kader partai
A merasa terpanggil memenangkan partai tersebut.
5.
Perlakuan
yang tidak adil terhadap pegawai. Pegawai diperlakukan secara tidak adil.
Misalnya bos menghambat pegawai yang berprestasi karena merasa disaingi.
6.
Inefisiensi
bruto (gross inefficiency). Betapapun bagus maksudnya, jika suatu
instansi tidak mampu melakukan tugas secara memadai, para administrator disitu
dinilai gagal, misalnya pemborosan dana secara berlebihan.
7.
Menutup-nutupi
kesalahan. Pimpinan atau pegawai menutupi kesalahannya sendiri atau
bawahannya, atau menolak diperiksa atau dikontrol oleh legislatif, atau
melarang pers meliput kesalahan instansinya.
8.
Gagal
menunjukkan inisiatif. Sebagian pegawai gagal membuat keputusan yang positif
atau menggunakan diskresi (keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan hukum
kepadanya.
Upaya untuk mencegah atau mengatasi tindakan
mal-administrasi pada tubuh birokrasi publik harus berupaya untuk tidak
mempertemukan antara niat dan kesempatan tadi. Maka skala prioritas
untuk mencegah dan mengatasinya adalah dengan cara: pertama, perlu
kontrol internal; kedua, menjunjung tinggi dan menegakkan etika
birokrasi pada jajaran birokrasi publik; ketiga, kontrol
eksternal dalam wujud adanya pengawasan baik pengawasan politik, fungsional
maupun pengawasan masyarakat.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Faktor Pendukung Etika Pelayanan
Proses pelayanan publik agar dapat
mencapai sasaran yang diinginkan, tentunya harus didukung oleh unsur-unsur yang
terkait, yang merupakan faktor pendukung dari proses pelayanan tersebut.
Faktor-faktor pendukung yang tidak baik, akan dapat menghambat pelayanan itu
sendiri.
Adapun faktor-faktor
pendukung proses pelayanan yang semestinya selalu mendapatkan perhatian
seksama, diantaranya adalah :
1.
faktor
kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam pelayanan;
2.
faktor
aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan;
3.
faktor
organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya
mekanisme kegiatan pelayanan;
4.
faktor
pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum;
5.
faktor
ketrampilan petugas; dan
6.
faktor
sarana alam pelaksanaan tugas pelayanan (Moenir, 1992:88).
Dalam proses pelayanan dari suatu
organisasi, faktor-faktor di atas merupakan sistem yang terkait satu sama lain
dan saling melengkapi/mempengaruhi pada keterpaduan. Oleh karenanya kerusakan
salah satu faktor dalam pelayanan akan mempengaruhi etika pelayanan dari
organisasi itu sendiri.
Faktor kesadaran mencakup kesadaran para pejabat dan petugas yang
berkecimpung dalam tugas pelayanan menunjukkan suatu keadaan pada jiwa
seseorang yaitu merupakan titik temu atau equilibrium dari
berbagai pertimbangan sehingga diperoleh suatu keyakinan, ketenangan, ketetapan
hati dan keseimbangan dalam jiwa yang bersangkutan. Moenir (1992:89) merumuskan
bahwa kesadaran adalah “Suatu proses berpikir melalui metode renungan,
pertimbangan dan perbandingan, sehingga menghasilkan keyakinan, ketenangan,
ketetapan hati dan keseimbangan dalam jiwanya sebagai pangkal tolak untuk
perbuatan dan tindakan yang akan dilakukan”. Adanya kesadaran dapat membawa
seseorang kepada keikhlasan dan kesungguhan dalam menjalankan atau melaksanakan
suatu kehendak. Dalam suatu organisasi kehendak tersebut tertuang dalam bentuk
tugas, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengikat semua orang dalam
organisasi. Sehingga proses pelayanan dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan
disiplin tercermin dalam tingkah laku dan perbuatannya.
Aturan merupakan
perangkat yang amat penting dalam segala tindakan dan perbuatan orang apalagi
dalam organisasi. Aturan harus dibuat untuk dipatuhi agar sasaran dapat
tercapai sesuai dengan maksudnya. Aturan organisasi akan mengarahkan pegawai
untuk disiplin dalam perwujudan kerja.
Faktor struktur dan mekanisme kerja dalam mencapai tujuan
organisasi yaitu pelayanan yang memadai bukan hanya semata-mata sebagai
perwujudan susunan organisasi, melainkan menekankan pada pengaturan dan
mekanisme kerja untuk menghasilkan pelayanan yang memadai dan perlu didukung
oleh sistem, prosedur, dan metode.
Sistem merupakan
hal yang cukup menentukan dalam proses pelayana, karena sistem merupakan
suatu rangkaian komponen yang membentuk kesatuan yang utuh, saling tergantung
dan mempengaruhi dalam suatu keterpaduan untuk mencapai suatu tujuan
organisasi. Dengan demikian sistem dalam organisasi harus dijaga agar
mekanismenya berjalan sebagaimana mestinya. Agar organisasi sebagai suatu
sistem dapat berfungsi dengan baik perlu ada job descriptionsecara
terinci agar setiap aparat dapat melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan
baik.
Dalam penyelenggaran pelayanan prosedur dan
metode amat penting dalam menentukan kelancaran dalam mencapai tujuan
organisasi. Prosedur adalah rangkaian tindakan/langkah yang harus diikuti dalam
usaha mencapai tujuan atau suatu tata cara kerja yang sah. Sedangkan metode
adalah memiliki batasan yang lebih sempit dari prosedur yaitu hanya berlaku
pada satu unit saja. Jadi metode adalah cara yang dilakukan seseorang untuk
menyelesaikan suatu tahap dari rangkaian pekerjaan yang paling mudah dan
efisien diantara beberapa cara yang ada. Namun cara termudah dan efisien
dimaksud sesuai dengan prosedur.
Faktor lain adalah pendapatan pegawai. Pendapatan
adalah seluruh penerimaan seseorang sebagai imbalan atas tenaga dan atau
pikiran yang telah dicurahkan untuk orang lain atau organisasi yang diperoleh
dari organisasi tempat kerja sesuai dengan kedudukan dan peranannya dalam
organisasi. Pendapatan haruslah dapat memenuhi kebutuhan hidup baik untuk
sendiri maupun keluarga. Pendapatan merupakan faktor pendukung dalam
penyelenggaraan pelayanan, karena tujuan orang bekerja adalah untuk mendapatkan
imbalan yang sepadan untuk memenuhi kehidupannya. Apabila pendapatan
tidak mencukupi maka dalam pelaksanaan pelayanan mereka diliputi rasa resah dan
tidak tenang, sehingga pelayanan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Faktor kemampuan dan ketrampilan merupakan
hal penting dalam mendukung proses pelayanan. Karena dengan kemampuan dan
ketrampilan yang memadai, pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efektif
dan efisien.
Sarana pelayanan
merupakan faktor penting pula dalam pelayanan karena berfungsi sebagai alat
utama membantu pelaksanaan pekerjaan. Sarana pelayanan dimaksud ada dua macam
yaitu sarana kerja dan fasilitas. Sarana kerja meliputi peralatan,
perlengkapan, dan alat bantu. Sedangkan fasilitas meliputi gedung dengan segala
perlengkapannya.
Adanya dukungan dari factor-faktor
di atas dalam pelayanan publik tentunya diharapkan dapat memenuhi harapan yang
didambakan oleh setiap orang yang membutuhkan pelayanan. Dambaan itu
diantaranya adalah :
1.
kemudahan
dalam pengurusan kepentingan;
2.
mendapatkan
pelayanan yang wajar;
3.
mendapatkan
perlakuan yang sama tanpa pilih kasih;
4.
mendapatkan
perlakuan yang jujur dan terus terang (Moenir, 1992:47).
Pemberian pelayanan yang baik dan
memuaskan kepada manajemen maupun masyarakat, tentunya akan muncul suatu dampak
yang positif di masyarakat yaitu :
1.
masyarakat
menghargai korps pegawai;
2.
masyarakat
patuh terhadap aturan-aturan pelayanan;
3.
masyarakat
bangga terhadap korps pegawai;
4.
ada
kegairahan usaha dalam masyarakat;
5.
ada
peningkatan dan pengembangan dalam masyarakat menuju segera tercapainya
masyarakat adil dan makmur (Moenir, 1992:47).
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Pemimpin Etis
Organisasi merupakan sistem kegiatan
terkoordinasi dari kelompok orang yang bekerjasama mengarah pada tujuan bersama
di bawah kewenangan dan kepemimpinan. Siagian (1988:24), memberi pengertian
kepemimpinan sebagai kemampuan dan ketrampilan seeorang yang menduduki jabatan
sebagai pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama
bawahannya, untuk berpikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui
perilaku yang positif ia memberikan sumbangsih nyata dalam pencapaian tujuan
organisasi. Selanjutnya, Minzberg (Davis,1993:152), menyatakan: ”Kepemimpinan adalah
proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias mencapai
tujuan”.
Peran moral kepemimpinan dalam upaya
membantu pelaksanaan pelayanan publik yang baik sangatlah besar, sebagaimana
diungkapkan oleh Putra Fadillah (2001:34), bahwa moral kepemimpinan pejabat
publik untuk berbuat baik dalam pelayanan publik dan mematuhi norma hukum yang
berlaku akan mewujudkan jati diri birokrasi dan pelayanan publik yang sejati.
Selanjutnya Kartono (1999:65)
menegaskan sikap moral pemimpin adalah sikap yang bertanggung jawab moral,
berdasarkan otonomi, yang menuntut agar dirinya selalu bersikap kritis dan
realistis. Sikap kritis tersebut perlu ditujukan kepada macam-macam kekuatan,
kekuasaan dan otoritas yang terdapat di masyarakat. Dengan adanya sikap kritis
dan kontrol sosial beserta sanksi-sanksi soaialnya, diharapkan dibangun
pola hidup sejahtera yang lebih bebas dari penderitaan dan ketidak-adilan,
untuk bisa hidup lebih bahagia.
Masyarakat modern berkepentingan
dengan kepemimpinan yang baik, dan mampu menuntun organisasi sesuai dengan
asas-asas manajemen modern, sekaligus juga bersedia memberikan kesejahteraan
dan kebahagiaan kepada bawahan dan masyarakat luas. Luasnya kegiatan manusia
modern, dirasakan perlu ada pemimpin-pemimpin yang efektif dan baik budi
pekertinya. Dengan demikian kepemimpinan etis diperlukan dan penting dalam
sebuah organisasi, karena memiliki alasan sebagai berikut:
1.
Berguna
untuk memandu, menuntun, membimbing, membangun, memberi atau membangun
motivasi-motivasi kerja, dan mengemudikan organisasi sehingga tujuan yang telah
ditetapkan dapat tercapai.
2.
Menjalin
jaringan-jaringan komunikasi yang baik, memberikan pengawasan yang efesien, dan
membawa para pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju sesuai dengan
ketentuan waktu dan perencanaan.
3.
Menunjukkan
kepemimpinan yang etis sebagai salah satu hal, penting untuk menunjukkan moral
yang baik dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, berdasarkan
nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan yang berlaku, sehingga dijadikan
panutan dan dapat di ikuti oleh bawahan dalam melaksanakan tugasnya.
Para anggota Senat dan hadirin yang kami muliakan
Kondisi Pelayanan: Hasil Kajian
Dwiyanto (2002), dalam penelitiannya
tentang pelayanan publik, salah satunya menukik pada aspek etika pelayanan publik
dengan menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: bahwa dalam
penyelenggaraan pelayanan publik terdapat dua pihak yang berhadapan dan saling
berbeda kepentingan. Pihak aparat sebagai pemberi layanan yang berhadapan
dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan, antara keduanya seringkali
terdapat perbedaan kepentingan-kepentingan yang mencolok. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan di lapangan dengan mengambil sampel beberapa daerah
di Indonesia yaitu : Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi
Selatan. Menunjukkan adanya kecenderungan diskriminasi yang mencolok dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam kontek etika pelayanan, masyarakat
pengguna jasa mengharapkan adanya etika birokrasi sebagai bentuk adanya sikap
tanggap dari aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat pengguna jasa.
Kepentingan pengguna jasa harus ditempatkan sebagai tujuan utama, melalui
prinsip pelayanan tersebut diharapkan tidak terjadi diskriminasi . Jika kondisi
demikian dapat diciptakan, etika pelayanan publik sesuai dengan misi aparat
birokrasi dan tuntutan masyarakat sebagai pengguna jasa.
Hasil kajian tentang etika pelayanan publik di Instansi
teknis di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar dalam hal pengurusan
KTP yang dilakukan oleh Sudana (2003) disimpulkan etika pelayanan belum optimal
diterapkan dalam pelayanan publik. Hal ini dapat dilihat: pertama,
lemahnya penerapan kode etik aparat dalam pelayanan, yang terindikasi dari
adanya tindakan-tindakan yang menyimpang dalam memberikan pelayanan. Beberapa
oknum aparat kadang-kadang menawarkan diri sebagai biro jasa atau calo
yang mengarah kepada tindakan terjadinya korupsi; kedua, rendahnya
kesadaran aparat birokrasi akan tanggung jawab dan disiplin dalam proses
pelayanan, dan masih adanya tindakan diskriminasi pelayanan yang mengarah pada
unsur nepotisme; ketiga, etika birokrasi dalam pelayanan
publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian pelayanan ini
terlihat. Seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas jasa, adanya
penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap
aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan. Dengan
demikian, masyarakat pengguna jasa dirugikan dalam pelayanan secara
komprehensif.
Lemahnya penerapan etika dalam
pelayanan publik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1.
Pengawasan.
Mekanisme pengawasan yang berfungsi sebagai antisipasi
terhadap adanya tindakan-tindakan penyimpangan dalam penegakan etika pelayanan
di Dinas tersebut dapat dinilai belum berjalan dengan baik dalam artian
pengawasannya lemah. Hal ini terjadi karena: pertama,
berkaitan pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahan pelaksanaannya
monoton, hanya dilakukan pada saat apel, bukan pada saat jam-jam pelayanan.
Dan sebaliknya saran dan kritik yang dilakukan bawahan terhadap atasan
hanya ditampung saja tidak ditindak lanjuti oleh atasan; kedua,
pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap organisasi tersebut tidak
mendapat respon dari pihak-pihak yang berkompeten dalam organisasi ini,
sehingga tidak ada umpan balik dalam mengevaluasi program selanjutnya, dan
pengawasan yang melibatkan masyarakat secara langsung sebagai kekuatan bagi
mekanisme chek and balances dalam proses penyelenggaraan
negara menjadi sia-sia. Seperti pepatah lama ‘bagaikan anjing menggongong
kafilah tetap berlalu’.
1.
Konsitensi
Aparat Birokrasi.
Aparat belum memiliki konsistensi dalam penerapan etika
pelayanan publik. Dalam artian, masih lemahnya kesadaran aparat birokrasi dalam
penegakkan etika pelayanan publik. Hal ini terjadi karena: pertama,
ketetapan aparat dalam bertindak yang sesuai aturan dengan pelayanan secara
faktual terdapat kesenjangan; kedua, masih rendahnya rasa memiliki
terhadap organisasi di tempat mereka bekerja, sehingga berimplikasi kepada
pekerjaan yang dilakukan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh berdasarkan
hati nurani.
3. Komunikasi
Komunikasi belum berjalan efektif karena komunikasi yang
telah dilakukan oleh pihak aparat dalam mensosialisasikan aturan seperti
melalui penyebaran brosur, media cetak, dan melalui penyuluhan-penyuluhan
langsung ke masyarakat belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini disebabkan
oleh minimnya tenaga penyuluh yang dimiliki oleh instansi yang bersangkutan,
luasnya jangkuan wilayah penyuluhan,disamping adanya sikap apatis masyarakat
dalam merespon informasi yang sebenarnya diperlukan.
Kesimpulan
1.
1.
Otonomi membutuhkan pelayanan yang cepat, tepat, dekat, murah.
2.
2.
Etika seringkali tidak dipahami
3.
3.
Etika pelayanan tidak dijalankan
4.
4.
Masih banyak terjadi mal-administrasi
5.
5.
Memerlukan dukungan semua pihak, sarana prasarana maupun panutan kepemimpinan.
6.
6.
Kepuasaan masyarakat masih kurang terhadap pelayanan yang diberikan birokrasi.
Saran-saran
1.
1.
sosilalisasikan etika pelayanan publik
2.
2.
perbaiki sistem rekruitmen
3.
3.
berikan sanksi yang tegas dan penghargaan yang sesuai
4.
4.
dan lainnya.
Akhirnya, kalau saja birokrasi tidak
berhasil menjalankan misi utamanya sebagai pelayan masyarakat, maka bukan hanya
citra birokrasi yang tercemar, melainkan eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang kita cintai inipun akan menjadi taruhannya.
R E F E R E N S I
1.
Buku-buku.
Anderson, James A., dkk. 1998. Strategies of
Qualitative Inquiri. New Delhi, Sage Publication, Inc.
Berg, Bruce L. 1989. Qualitative Research Methods
For The Social Science, Indiana University of Pennsylvania, Boston.
Bertens, K. 1977. Etika. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Cassel, Chaterine dan Symon, Gillian (ed). 1994. Qualitative
Methodesin Organization Research. A Pratical Guide, Sage Publications,
Singapore.
Danin, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kwalitatif
Ancangan Metodelogi: Presentasi, Publikasi Hasil Penelitian Untuk Mahasiswa dan
Peneliti Pemula Bidang Ilmu-Ilmu Sosial. Pendidikan, dan Humaniora. Pustaka
Setia, Bandung.
Dwiyanto Agus, Partini, Ratminto, Wicaksono Bambang,
Tamtiari Wini, Kusumasari Bevaola, dan Nuh Muhamad. 2002. Reformasi
Birokrasi Publik Di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan (PSKK), UGM., Yogyakarta.
Effendi, Sofian & Singarimbun Masri. 1989. Metode
Penelitian Survai. Lembaga penelitian, pendidikan dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial (LP3ES), Jakarta.
Gafar, Afan. 2000. Politik Indonesia Transisi Menuju
Demokrasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Faisal, Sanapiah. 2001. Format-Format Penelitian
Sosial. Raja Grafindi Persada, Jakarta.
Gie, The Liang. 1986. Etika pemerintahan.
Yayasan Obor, Jakarta.
——–.993. Keadilan Sebagai Landasan Bagi Etika
Administrasi Pemerintahan Dalam Negara Indonesia. Liberti, Yogyakarta.
——–.998. Kode Etik Bagi Petugas Pemerintahan,
Bahan Pemikiran Untuk Membina Pegawai Negeri yang Bersih dan Berwibawa. Pusat
Belajar Ilmu Berguna (PUBIB), Yogyakarta.
Gibson, James L., J.M. Ibancevich, J.N. Donnelly.
1996. Organisasi: Perilaku Struktur dan Proses. Erlangga , Jakarta.
——–.997. Organisasi: Perilaku Struktur dan Proses.
Erlangga, Jakarta.
——–.000. Organisasi: Perilaku Struktur dan Proses.
Erlangga, Jakarta.
Indrawijaya, I. Adam. 2000. Perilaku Organisasi.
Sinar Baru Algendsindo, Bandung.
Invancevich, John M. and Matteson, Michael T.
1999. Organizational Behavior and Management. Irwin Mc
Graw-Hil. Boston, USA.
Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi
Pembangunan: Pekembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. LP3ES,
Jakarta.
Keban, Yeremias T. 1994. Pengantar Aministrasi
Publik. Program MAP UGM, Yogyakarta.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika administrasi Negara.
Rajawali Pers, Jakarta.
Miles, Mathew B. dan Michael Hubernman. 1992. Analisis
Data Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Terjemahan
Tjetjep Rohendi Rohidi, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Muchsan, 2000. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan
Aparat Pemerintah dan Peradilan tata Usaha Negara di Indonesia. Liberty,
yogyakarta.
Mulyana, Dedy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu
Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Moenir, H.A.S. 2000. Manajemen Pelyanan Umum di
Indonesia. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Moleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif.
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nazir, Mohamad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia,
Jakarta.
Ndraha, Taliziduhu, 2003. Kybernology (Ilmu
Pemerintahan Baru). Rineka Cipta, Jakarta
Nawawi, Hadari. 2003. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Putra, Fadillah dan Arif, Saiful. 2001. Kapatilasime
Birokrasi, Kritik Reinvinting Government Osborne-Gaebler. LKIS, Yogyakarta.
Poedjawijanta. 1986. Etika Filsafat Tingkah Laku.
Bina aksara, Jakarta.
Rasyid, Ryaas, 1998. Desentralisasi Dalam Menunjang
Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia. PT. Pustaka
LP3ES, Jakarta.
——–.001. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari segi
Etika dan Kepemimpinan. PT. Yasrif Watampone, Jakarta.
Sulistiyani, Ambar Teguh dan Rosidah. 2003. Manajemen
Sumber Daya Manusia; Konsep, Teori dan Konteks Organisasi Publik. Graha
Ilmu, Bandung.
Siagian, Sondang P. 1988. Organsiasi, Kepemimpinan
& Perilaku Administrasi. CV. Haji Masagung, Jakarta.
——–.1995. Patalogi Birokrasi analisis, Identifikasi
dan Terafinya. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Syafie, Inu Kencana, dkk. 1999. Ilmu Administrasi
Publik. Rineka Cipta, Jakarta.
Stoner, A.F. James. 1996. Manajemen. Erlangga,
Jakarta
Thoha, Miftah.1995. Birokrasi Indonesia Dalam
Era Globalisasi. Pusdiklat Pegawai Depdikbud, Sawangan-Bogor.
——–.1998. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi.
Media Widya Mandala, Yogyakarta.
——–.2002. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan
aplikasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tjokrowinoto, Moelyarto. 2001. Birokrasi dalam
Polemik. Pustaka Pelajar, Jakarta.
——–.2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan.
Pustaka Pelajar, Jakarta.
Utomo, Warsito. 2003. Dinamika Administrasi Publik
Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer dalam Administrasi Publik.
Kerjasama dengan MAP, UGM, Yogyakarta.
Widjaja, A.W. 1994. Etika Administrasi Negara.
PT. Bumi Aksara, Jakarta.
——–. 1997. Etika Pemerintahan. PT. Bumi Aksara,
Jakarta
Widodo, Joko. 2001. Good Governance, Telaah dari
Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi
Daerah. Insan Cendekia, Surabaya.
Yin, Robert K. 2003. Studi Kasus (Desain dan Metode).
Rajawali Pers, Jakarta.
Zauhar, Soesilo. 1996. Reformasi Administrasi
Konsep, Dimensi, dan Strategi. Bumi Aksara, Jakarta.
_____.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
1.
2. Laporan
Hasil Penelitian dan Panduan
Lay, Cornelis, Dkk. 2002. Desentralisasi dan
Demokrasi: Kajian Tentang Kecamatan Sebagai Arena Pengembangan Demokrasi,
Pelayanan Publik, Ekonomi, dan Intermediary. Kerjasama Fisipol UGM,
Yogyakarta- The Ford Foundation.
_____.2002. Kebijakan Tertib Administrasi
Kependudukan Kota Denpasar. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Denpasar.
_____.2003. Evaluasi Akhir Tahun 2003. Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar.
_____.2003. Ketentuan dan Prosedur Pelayanan
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Denpasar.
Utomo, Warsito. 2002 15 Februari. Kembalikan Fungsi
Birokrasi. Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. hlm. 1
Komentar
Posting Komentar